Sunday, May 20, 2018

Diskusi Model Ekonometrika


Bagi anda yang kesulitan mengenai model ekonometrik :Regresi Linear Sederhana, Regresi Linear Berganda, Panel data, ECM, VAR/VECM, Persamaan Simultan, Arima dll) kita dapat mendiskusikannya di sini.. Semoga dapat membantu.

Dilengkapi teknik analisis dan pengolahan data dengan EViews

BukuAjar Ekonometrika


 Daftar Tabel Lampiran Buku Ajar

 Download:
1. Data Tabungan &Pendapatan Perkapita

Saturday, March 30, 2013

KEBIJAKAN MONETER, INTERMEDIASI KEUANGAN PERBANKAN, EKSPOR DAN TINGKAT OUTPUT DI INDONESIA: SUATU APLIKASI VECTOR ERROR CORRECTION MODEL (VECM), 1999-2009


Amaluddin
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura
Jln.Ir.M.Putuhena, Kampus Poka, Ambon
e-mail: Amaluddin001@gmail.com

ABSTRACT
This study aimed to analyze the pattern of causality between monetary policy, bank financial intermediation, private investment, export and its influence on the level of output in Indonesia, the period 1999-2009 with using the VECM (Vector Error Correction Model), which include Granger Causality Test (GCT), Impulse Response Function (IRF) and Variance decomposition (VDC). To obtain a valid and accurate results, this study used monthly time series data, from Indonesia’s Central Bank and numerous other publications. Based on the results of Granger Causality Test (GCT), in the short term there is bi-directional causality between monetary policy and the output level. This research also find that bank financial intermediation and private investment have bi-directional causality (feedback). However, there is only a uni-directional relationship from monetary policy to the private investment. Further, Impulse Response Function (IRF) show that shocks from monetary policy responded negatively by private investment, exports and output while the shocks of bank’s financial intermediation responded positively by private investment, export and output. The result of this research are consistent with theory and previous empirical studies that private investment and exports play an important role in boosting aggregate demand and increase the level of output which indicated by the positive response rate of output as a result of shocks at one standard deviation of exports and private investment.


Keywords: Monetary policy, investment, export, output, causality, VECM.


PENDAHULUAN
Belajar dari pengalaman krisis finansial yang telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia tahun 1997, maka pemulihan (recovery) perekonomian merupakan suatu momen yang krusial bagi pembangunan ekonomi di tanah air namun hingga saat ini, Indonesia masih terjebak dalam perangkap pertumbuhan ekonomi rendah dan berjalan lambat dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Persepsi publik internasional juga turut memberikan penilaian terhadap perekonomian Indonesia melalui berbagai hasil survei dan laporan yang dapat dipercaya. Dalam publikasi Global Competitiveness Report 2008-2009, disebutkan bahwa daya saing ekonomi Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 54 tahun 2007 menjadi peringkat 55 dari 131 negara di tahun 2008-2009, setelah pada tahun 2006 sempat mengalami perbaikan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2005 (World Economic Forum, 2009).

Pemulihan ekonomi pasca krisis memang menghadapi berbagai permasalahan serius seiring dengan belum optimalnya kebijakan moneter dalam mendukung peran intermediasi keuangan perbankan untuk menggerakkan aktivitas ekonomi di sektor riil. Rendahnya pertumbuhan kredit di satu sisi disebabkan persepsi perbankan terhadap tingginya risiko sektor riil yang masih terimbas krisis keuangan global. Sebaliknya di sisi lain juga disebabkan aktivitas ekonomi yang melambat serta tingginya suku bunga. Kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya penguatan kebijakan moneter secara hati-hati (prudent macroeconomic policy) dan pada akhirnya mampu mendukung peran vital sektor keuangan perbankan sebagai perantara (intermediaries).

Momentum kebijakan baru yang dapat mempengaruhi konstalasi perekonomian di Indonesia adalah penerapan Inflation Targeting Framework (ITF), dengan menggunakan suku bunga referensi BI (BI rate) sebagai sinyal kebijakan moneter dan beralihnya sistem nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem yang mengambang penuh (flexible floating exchange rate), memberikan beberapa implikasi terhadap pengendalian moneter di Indonesia.
Dalam perkembangannya, berbagai kajian empiris seringkali memperdebatkan apakah penerapan kebijakan moneter tersebut dapat mempengaruhi sektor riil dan melalui jalur mekanisme manakah kebijakan moneter tersebut dapat mempengaruhi output (Bernanke dan Blinder, 1992, Taylor, 1995). Dalam paradigma teoritis, dampak kebijakan moneter terhadap aktivitas ekonomi secara riil masih juga mengundang kontroversi yang semakin tajam sejak tahun 1960-an. Kelompok monetaris berpendapat bahwa kebijakan moneter secara potensial sangat kuat pengaruhnya pada permintaan agregat, sementara kelompok Keynesian memiliki pandangan bahwa kebijakan moneter jauh lebih lemah. Perdebatan ini sebagian berakar pada perbedaan penafsiran terhadap salah satu episode paling dramatis dalam perekonomian Amerika, yang selalu diulas dalam literatur-literatur ekonomi makro, yakni depresi besar pada tahun 1930-an (Froyen, 2004, Mishkin, 2008).

Dalam perspektif kajian empiris, Taylor (1995), Cortes and Chang (2007), Morsink and Bayoumi (2001) membuktikan adanya pengaruh kuat kebijakan moneter terhadap tingkat output riil. Kebijakan moneter dan sektor perbankan memainkan peranan krusial dalam shock transmisi kebijakan moneter dan bisnis investasi sangat sensitif terhadap guncangan kondisi moneter. Studi lainnya menganalisis transmisi kebijakan moneter (jalur suku bunga, jalur kredit dan jalur nilai tukar), menyimpulkan bahwa kebijakan moneter mempengaruhi tingkat output dan harga namun tidak memberikan dukungan empiris terhadap transmisi kebijakan moneter jalur suku bunga karena suku bunga riil tidak signifikan dalam mempengaruhi tingkat output. Hasil temuan menguatkan keberadaan transmisi kebijakan moneter jalur nilai tukar (Hung, 2008).

Studi empiris mengenai hubungan antara investasi riil dan tingkat output di negara-negara Timur Tengah diperoleh temuan empiris bahwa investasi swasta memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan output riil (Tsen, 2007). Sementara itu, studi dari Tang dan Selvanathan (2008) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah (feedback) antara investasi domestik dan tingkat output. Dalam konteks hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi, Jung dan Marshall (1985) melakukan studi di negara-negara berkembang menyimpulkan bahwa 11 % dari 37 negara termasuk Indonesia mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi (export-led growth hypothesis) dan 8 % dari 37 negara mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa tingkat output mempengaruhi ekspor (internally generated export hypothesis). Terdapat hubungan kausalitas dua arah antara ekspor dan tingkat output sedangkan khusus untuk kasus Indonesia hanya terdapat hubungan satu arah (one way causality) dari ekspor ke pertumbuhan output. Studi Taban dan Aktar (2008), Tsen (2007) mendapatkan hasil bahwa investasi dan ekspor memainkan peran penting dalam mempengaruhi tingkat output. Ekspor dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan kausalitas dua arah atau terjadi feedback antara keduanya. Dalam jangka pendek terdapat hubungan kausalitas searah dari pertumbuhan ekonomi ke ekspor dan permintaan domestik (konsumsi pemerintah). Temuan lainnya mengungkap hubungan kausalitas berpola bi-directional causality antara ekspor dan konsumsi rumah tangga (Chimobi and Uche, 2010).

Sejumlah fenomena yang telah dikemukakan menarik untuk dikaji lebih jauh dan termotivasi melakukan penelitian di Indonesia periode 1999-2009, dengan rumusan permasalahan 1) bagaimana pola hubungan kausalitas antara kebijakan moneter, intermediasi keuangan perbankan dan tingkat output ? 2) bagaimana pola hubungan kausalitas antara investasi swasta, ekspor dan tingkat output ? 3) bagaimana pengaruh kebijakan moneter dan intermediasi keuangan perbankan terhadap tingkat output ? 4) bagaimana pengaruh investasi swasta dan ekspor terhadap tingkat output di Indonesia periode 1999-2009 ?.

RINGKASAN KAJIAN TEORI
Kebijakan moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat serta menentukan kombinasi output dan tingkat harga melalui suatu mekanisme transmisi yang sangat kompleks. Tindakan tersebut kemudian berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai saluran transmisi, antara lain saluran suku bunga, kredit, nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi. Di bidang keuangan, kebijakan moneter berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga, nilai tukar, dan harga saham di samping volume dana masyarakat yang disimpan di bank, kredit yang disalurkan bank kepada dunia usaha, penanaman dana pada obligasi, saham maupun sekuritas lainnya. Sementara itu di sektor riil kebijakan moneter selanjutnya mempengaruhi perkembangan konsumsi, investasi, ekspor dan impor, hingga pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang merupakan sasaran akhir kebijakan moneter (Warjiyo, 2004).
Kebijakan moneter ekspansif mempengaruhi turunnya suku bunga kredit sehingga permintaan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan kegiatan investasi. Kebijakan moneter dan output memiliki hubungan yang saling mempengaruhi atau terjadi feedback antara keduanya.

Pada jalur kredit, bank-bank memainkan peranan khusus dalam sistem keuangan karena mereka dapat mengatasi masalah asymmetric information di pasar kredit. Kebijakan moneter ekspansif dengan menurunkan tingkat suku bunga mendorong naiknya simpanan bank baik dalam bentuk giro, tabungan dan deposito yang kemudian mempengaruhi peningkatan kredit bank. Meningkatnya kredit bank mempengaruhi naiknya investasi dan output (Mishkin, 2008).
Dalam perkembangan ekspor, kebijakan moneter memainkan peranan penting melalui jalur nilai tukar. Kebijakan moneter ekspansif mempengaruhi turunnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (terdepresiasi) akibatnya konsumen luar negeri menilai barang-barang dalam negeri relatif lebih murah, diindikasikan oleh meningkatnya ekspor dan ekspor netto (Dornbush et.al, 2008).

Peranan perbankan sebagai intermediaries yaitu menghimpun dana dari masyarakat penabung dan menyalurkannya kepada pihak-pihak yang membutuhkan terutama untuk kegiatan investasi. Lemahnya fungsi intermediasi perbankan dalam menyalurkan pinjaman dapat mempengaruhi perkembangan sektor riil. (Mankiw, 2003). Dalam model Keynes, investasi swasta merupakan bagian dari permintaan agregat. Menurut Keynes, bahwa dalam jangka pendek keseimbangan tingkat output ditentukan oleh permintaan agregat. Ekspor dapat mempengaruhi ekspor netto dan perubahan-perubahan pada permintaan agregat (agregate demand) mempengaruhi fluktuasi dan keseimbangan output dalam jangka pendek, ceteris paribus. Dengan demikian ekspor memiliki hubungan positif terhadap tingkat output (Froyen, 2005). Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dirumuskan sebagai berikut :
  • H1: Kebijakan moneter dan tingkat output memiliki pola hubungan kausalitas dua arah atau saling mempengaruhi melalui investasi swasta dan ekspor. Sedangkan intermediasi keuangan perbankan dan output memiliki pola hubungan searah yang mempengaruhi tingkat output melalui investasi swasta. 
  • H2: Terdapat pola hubungan kausalitas dua arah atau saling mempengaruhi baik antara investasi swasta dan tingkat output maupun antara ekspor dan tingkat output. 
  • H3: Kebijakan moneter berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat output.Sedangkan intermediasi keuangan perbankan berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat output. 
  • H4 : Investasi riil dan ekspor berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat output.
READ MORE......!

Thursday, March 28, 2013

TREN PERTUMBUHAN EKONOMI ANTAR-PROVINSI DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

Salah satu indikator yang seringkali dijadikan ukuran keberhasilan atau prestasi pembangunan ekonomi suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi, yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Di kebanyakan negara dan lembaga internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), IMF dan UNDP, menggunakan PDB sebagai indikator untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan ekonomi. Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa makin maju pembangunan ekonomi suatu negara makin besar PDB-nya (baik secara total maupun per-kapita) sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dengan asumsi bahwa pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Namun demikian indikator ini bukanlah alat ukur yang terbaik, karena tercapainya kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan ekonomi juga ditentukan oleh persoalan distribusinya.

Dalam tulisan ini, pertumbuhan ekonomi diukur dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000. Perkembangan PDRB atau pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun dapat menggambarkan prestasi kemajuan pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi 12 provinsi di Kawasan Timur Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1, pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Barat tahun 2011 mencatat prestasi terbaik pertumbuhan ekonomi di regional Sulawesi tiga tahun berturut-turut. Bahkan, pada tahun 2010 dan 2011 berhasil menembus dua digit. Menyusul di bawahnya Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Barat mencatat angka minus, yakni -3,18% dan Papua -5,67%.

  Tabel 1 Pertumbuhan Ekonomi Antar Provinsi di Kawasan Timur
                 Indonesia Periode 2005-2011 (Persen)

No
Nama Provinsi
Tahun
Rata2 (%)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
1
Nusa Tenggara Timur
-
5.08
5.15
4.84
4.29
5.13
5.56
5.02
2
Nusa Tenggara Barat
-
2.77
4.91
2.83
12.10
6.30
-3.18
4.29
3
Sulawesi Utara
-
5.72
6.47
10.86
7.85
7.12
7.44
7.58
4
Sulawesi Selatan
-
6.71
6.34
7.78
6.23
8.18
7.65
7.15
5
Sulawesi Tengah
-
7.82
7.99
9.96
7.51
7.79
9.16
8.37
6
Sulawesi Tenggara
-
7.68
7.96
12.59
7.57
8.19
8.45
8.74
7
Gorontalo
-
7.30
7.51
7.76
7.54
7.62
7.29
7.50
8
Sulawesi Barat
-
6.42
7.43
12.07
6.03
11.91
10.41
9.04
9
Maluku
-
5.55
5.62
4.23
5.44
6.47
6.02
5.55
10
Maluku Utara
-
5.48
6.01
5.99
6.05
7.96
6.37
6.31
11
Papua
-
-17.14
4.34
-1.40
22.74
-3.16
-5.67
0.04
12
Papua Barat
-
4.55
6.95
7.84
13.87
18.45
37.34
14.83
Total KTI
-
2.06
6.13
6.58
9.20
6.90
6.52
6.23
Sumber: BPS 
Laju pertumbuhan ekonomi di kawasan Sulawesi meningkat pesat pada kurun waktu 2009 sampai 2011. Semua provinsi bertumbuh di atas tujuh persen per tahun. Pertumbuhan terendah yakni Provinsi Sulawesi Utara pun masih di atas pertumbuhan rata-rata nasional. Yang mencatat pencapaian gemilang adalah Provinsi Sulawesi Barat yang mencatat pertumbuhan dua digit, yakni tahun 2010 sebesar 11,91% dan tahun 2011 sebesar 10,41%. Kontribusi perekonomian wilayah Sulawesi terhadap pembentukan PDB nasional tahun 2011 sebesar 4,88 persen.

Sementara itu, untuk wilayah Nusa Tenggara, rata-rata pertumbuhan ekonominya masih di bawah rata-rata nasional. Bahkan, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat pertumbuhan negatif yakni -3,18 % tahun 2011. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) secara perlahan terus meningkat. Tahun 2011 sudah mencatat rata-rata 5,63%. Dua provinsi ini mencatat pertumbuhan ekonomi yang kecil seiring masih lambannya investasi, baik penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN). Untuk wilayah Maluku, pertumbuhan ekonomi terbesar ada di Provinsi Maluku Utara, yakni mencatat 6,41 persen pada tahun 2011. Sedangkan Provinsi Maluku hanya sebesar 6,02 persen. Meski demikian, tercatat peran wilayah ini terhadap perekonomian nasional mulai meningkat seiring meningkatnya minat investasi di dua daerah ini.

Sedangkan daerah yang pertumbuhan ekonominya terkecil adalah wilayah Papua. Bahkan, Provinsi Papua mencatat pertumbuhan minus, yakni -5,67 persen pada tahun 2011. Pada kurun waktu 2009 sampai 2011 kinerja perekonomian di Papua Barat bertumbuh pesat yakni 13,87 persen pada 2009, 18,45 persen pada 2010 dan 37,74 persen pada 2011. Sedangkan pertumbuhan ekonomi di Papua justru mengalami penurunan drastis. Akibatnya kontribusi wilayah Papua terhadap perekonomian nasional sejak tahun 2009 sampai 2011 cenderung menurun. Kontribusi perekonomian Papua terhadap PDB nasional hanya 1,37 persen.
Salah satu dampak buruk bagi laju pertumbuhan ekonomi di KTI adalah minimnya infrastruktur. Masih banyak daerah di KTI yang terisolasi sehingga tidak ada akses perekonomian. Banyak potensi lokal yang tak bisa dikembangkan, karena sulitnya akses transportasi. Pemerintah terus didorong untuk membangun infrastruktur pendukung di wilayah KTI. Wilayah KTI butuh pelabuhan, air bersih, jalan, listrik, alat transportasi dan komunikasi.

                                        Gambar 1. Rata-rata Pertumbuhan tahun 2005-2011

Dari Gambar 1, tampak bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi tahun 2005-2011 di Kawasan Timur Indonesia adalah Provinsi Papua Barat (14,83%) di urutan kedua dicapai oleh Provinsi Sulawesi Barat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,04% per tahun. Sedangkan rata-rata pertumbuhan ekonomi terendah adalah Provinsi Papua (0,04%) per tahun disusul oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mencatat angka laju pertumbuhan sebesar 4,29% per tahun.
Khusus untuk Kawasan Sulawesi, rata-rata pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Provinsi Sulawesi Barat, dengan capaian prestasi kemajuan ekonomi sebesar 9,04% per tahun. Sedangkan pertumbuhan ekonomi terendah tercatat sebesar 7,15% per tahun dicapai oleh Provinsi Sulawesi Selatan. Meski demikian semua provinsi di Kawasan Sulawesi memiliki rata-rata pertumbuhan di atas rata-rata pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia sebesar 6,23%.