Monday, October 22, 2012



KEBIJAKAN MONETER, INVESTASI SWASTA DAN TINGKAT
OUTPUT DI INDONESIA : SUATU APLIKASI
GRANGER CAUSALITY TEST,
PERIODE 1999-2009
                                                                                                                    

Amaluddin1
Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura
Jln. Ir. M. Putuhena, Kode Pos : 97233 Ambon
e-mail : Amaluddin.unpad@gmail.com

ABSTRAK

   Kajian teoritis dan sejumlah argumen penting mengenai hubungan antara kebijakan moneter, intermediasi keuangan perbankan, investasi swasta dan dampaknya terhadap pertumbuhan output masih menyisakan perdebatan, yang kemudian mendorong para ekonom untuk melakukan studi/penelitian di berbagai negara. Berbagai laporan dan hasil survei internasional juga menunjukkan bahwa recovery kondisi ekonomi Indonesia ini masih lambat atau belum menampakkan kinerja yang memuaskan seiring dengan belum membaiknya kinerja investasi swasta dan fungsi intermediasi perbankan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola hubungan kausalitas antara kebijakan moneter, intermediasi keuangan perbankan, investasi swasta dan pengaruhnya terhadap tingkat output di Indonesia periode 1999-2009 dengan menggunakan uji kausalitas Granger (Granger Causality Test) dalam kerangka VECM (Vector Error Correction Model). Untuk mendapatkan hasil yang valid dan akurat maka penelitian ini menggunakan data time series bulanan yang diperoleh dari Bank Indonesia dan sejumlah publikasi lainnya.
Berdasarkan hasil uji kausalitas Granger (IRF), dalam jangka pendek terdapat hubungan yang saling mempengaruhi atau hubungan dua arah (bi-directional causality) antara kebijakan moneter dan tingkat output. Kondisi tersebut didukung oleh pola hubungan kausalitas dua arah (bi-directional causality) antara Intermediasi keuangan perbankan dan investasi swasta meski demikian hanya terdapat hubungan satu arah (uni-directional causality) dari kebijakan moneter ke investasi swasta. Dalam jangka panjang hanya terdapat hubungan kausalitas berpola 1 arah (uni-directional causality) yang berlangsung dari tingkat output ke kebijakan moneter mengisyaratkan adanya respon dari Bank Indonesia sebagai otorita moneter dengan instrumennya untuk mengendalikan kondisi makroekonomi.
Kata Kunci : Kebijakan moneter, investasi swasta, output dan kausalitas.
     


PENDAHULUAN

Belajar dari pengalaman krisis finansial yang telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia tahun 1997, maka pemulihan (recovery) perekonomian merupakan suatu momen yang krusial bagi pembangunan ekonomi di tanah air namun hingga saat ini, Indonesia masih terjebak dalam perangkap pertumbuhan ekonomi rendah dan berjalan lambat dibandingkan dengan masa sebelum krisis, bahkan pada pasca krisis tahun 1999 perekonomian Indonesia masih dibayang-bayangi oleh imbas krisis dengan capaian pertumbuhan hanya sebesar 0,85 %, jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang juga dihantam badai krisis seperti Thailand dan Malaysia. Pada tahun 1999, kedua negara tetangga tersebut sudah dapat menjalankan roda perekonomian, dengan angka pertumbuhan masing-masing sebesar 4,23 persen dan 5,22 persen (Bank Indonesia, 2009).
Persepsi publik internasional juga turut memberikan penilaian terhadap perekonomian Indonesia melalui berbagai hasil survei dan laporan publikasi yang dapat dipercaya. Dalam publikasi Global Competitiveness Report 2008-2009, disebutkan bahwa daya saing ekonomi Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 54 tahun 2007 menjadi peringkat 55 dari 131 negara di tahun 2008-2009, setelah pada tahun 2006 sempat mengalami perbaikan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2005 (World Economic Forum, 2009). Situasi yang sama juga terungkap dari hasil survei International Institute for Management Development (IMD), dalam publikasinya World Competitiveness Yearbook tahun 2007, melaporkan bahwa daya saing ekonomi Indonesia tidak mengalami perbaikan. Perekonomian Indonesia mengalami penurunan peringkat daya saing dari peringkat 52 pada tahun 2006 menjadi peringkat 54 dari 55 negara tahun 2007 (Bank Indonesia, 2009).
 Pemulihan ekonomi pasca krisis memang menghadapi berbagai permasalahan serius seiring dengan belum optimalnya kebijakan moneter dalam mendukung peran intermediasi keuangan perbankan untuk menggerakkan aktivitas ekonomi di sektor riil. Rendahnya pertumbuhan kredit di satu sisi disebabkan persepsi perbankan terhadap tingginya risiko sektor riil yang masih terimbas krisis keuangan global. Sebaliknya di sisi lain juga disebabkan aktivitas ekonomi yang melambat serta tingginya suku bunga (Daniey, 2003). Kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya penguatan kebijakan moneter secara hati-hati (prudent macroeconomic policy) dan pada akhirnya mampu mendukung peran vital sektor keuangan perbankan sebagai perantara (intermediaries).
Sebagai perantara (intermediaries), keberadaan sebuah sistem finansial yang sehat menjadi semakin penting di negara-negara berkembang khususnya di Indonesia. Ini mengingat, tipikal negara berkembang yaitu adanya saving-investment gap yang tidak bisa ditutupi oleh budget pemerintah. Dengan demikian keterlibatan bank dalam mengumpulkan dan menyalurkan kembali dana-dana masyarakat (fungsi intermediasi perbankan), akan sangat membantu bagi proses pemulihan ekonomi. Sehingga tidak mengherankan jika peranan bank dalam perekonomian negara berkembang lebih mendominasi dibandingkan dengan negara-negara maju. Patut dicatat juga bahwa pengalaman di negara-negara Amerika Latin dan Indonesia, membuktikan bahwa manajemen yang salah dalam pembangunan sektor keuangan  telah menyebabkan terjadinya krisis moneter yang berimbas pada hancurnya sektor riil (Sunarsip dan Salamun, 2003).                                    
Momentum rezim kebijakan baru yang dapat mempengaruhi konstalasi perekonomian di Indonesia adalah penerapan Inflation Targeting Framework (ITF), dengan menggunakan suku bunga referensi BI (BI rate) sebagai sinyal kebijakan moneter dan beralihnya sistem nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem yang mengambang penuh (flexible floating exchange rate), memberikan beberapa implikasi terhadap pengendalian moneter di Indonesia di tengah tekanan ekonomi global yang semakin kuat. 
Dalam perkembangannya, berbagai kajian empiris seringkali memperdebatkan apakah penerapan kebijakan moneter tersebut dapat mempengaruhi sektor riil dan melalui jalur mekanisme manakah kebijakan moneter tersebut dapat mempengaruhi output (Bernanke dan Blinder, 1992, Taylor, 1995). Dalam paradigma teoritis, dampak kebijakan moneter terhadap aktivitas ekonomi secara riil masih juga mengundang kontroversi yang semakin tajam sejak tahun 1960-an. Kelompok monetaris berpendapat bahwa kebijakan moneter secara potensial sangat kuat pengaruhnya pada permintaan agregat, sementara kelompok Keynesian memiliki pandangan bahwa kebijakan moneter jauh lebih lemah. Perdebatan ini sebagian berakar pada perbedaan penafsiran terhadap salah satu episode paling dramatis dalam perekonomian Amerika, yang selalu diulas dalam literatur-literatur ekonomi makro, yakni depresi besar pada tahun 1930-an (Froyen, 2004, Mishkin, 2008).
Berbagai fenomena yang telah dikemukakan menarik untuk dikaji lebih jauh karena meskipun dinamika perekonomian pasca krisis menghadapi permasalahan serius dan ujian berat, sejarah-pun pernah mencatat bahwa Bank dunia melalui indikator pertumbuhan ekonomi mengelompokkan Indonesia sebagai negara yang memiliki keajaiban pertumbuhan dalam suatu publikasi berjudul “East Asian Miracle, Economic, Growth and public policy, September 1993”, Bahkan oleh IMF pada saat itu diramalkan akan menjadi negara industri baru di Asia Tenggara (Tulus, 2009). Kondisi tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian untuk menjawab bagaimana pola hubungan antara kebijakan moneter, intermediasi keuangan perbankan, investasi swasta dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 1999-2009.

No comments:

Post a Comment