KEBIJAKAN MONETER, INVESTASI SWASTA DAN TINGKAT
OUTPUT DI INDONESIA : SUATU APLIKASI
GRANGER
CAUSALITY TEST,
PERIODE
1999-2009
Amaluddin1
Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura
Jln. Ir. M. Putuhena, Kode Pos : 97233 Ambon
e-mail : Amaluddin.unpad@gmail.com
ABSTRAK
Kajian
teoritis dan sejumlah argumen penting mengenai hubungan antara kebijakan
moneter, intermediasi keuangan perbankan, investasi swasta dan dampaknya
terhadap pertumbuhan output masih menyisakan perdebatan, yang kemudian
mendorong para ekonom untuk melakukan studi/penelitian di berbagai negara. Berbagai
laporan dan hasil survei internasional juga menunjukkan bahwa recovery kondisi ekonomi Indonesia ini
masih lambat atau belum menampakkan kinerja yang memuaskan seiring dengan belum
membaiknya kinerja investasi swasta dan fungsi intermediasi perbankan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pola hubungan kausalitas antara kebijakan moneter, intermediasi keuangan
perbankan, investasi swasta dan pengaruhnya terhadap tingkat output di
Indonesia periode 1999-2009 dengan menggunakan uji kausalitas Granger (Granger Causality Test) dalam kerangka VECM (Vector Error Correction Model). Untuk
mendapatkan hasil yang valid dan akurat maka penelitian ini menggunakan data time series bulanan yang diperoleh dari
Bank Indonesia dan sejumlah publikasi lainnya.
Berdasarkan hasil uji kausalitas Granger (IRF), dalam jangka pendek
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi atau hubungan dua arah (bi-directional causality) antara
kebijakan moneter dan tingkat output. Kondisi tersebut didukung oleh pola
hubungan kausalitas dua arah (bi-directional
causality) antara Intermediasi
keuangan perbankan dan investasi swasta meski demikian hanya terdapat hubungan
satu arah (uni-directional causality)
dari kebijakan moneter ke investasi swasta. Dalam jangka panjang hanya terdapat
hubungan kausalitas berpola 1 arah (uni-directional
causality) yang berlangsung dari tingkat output ke kebijakan moneter mengisyaratkan adanya respon dari
Bank Indonesia sebagai otorita moneter dengan instrumennya untuk mengendalikan
kondisi makroekonomi.
Kata
Kunci : Kebijakan moneter,
investasi swasta, output dan kausalitas.
PENDAHULUAN
Belajar dari pengalaman krisis finansial yang telah
memporak-porandakan perekonomian Indonesia tahun 1997, maka pemulihan (recovery) perekonomian merupakan suatu
momen yang krusial bagi pembangunan ekonomi di tanah air namun hingga saat ini,
Indonesia masih terjebak dalam perangkap pertumbuhan ekonomi rendah dan
berjalan lambat dibandingkan dengan masa sebelum krisis, bahkan pada pasca
krisis tahun 1999 perekonomian Indonesia masih dibayang-bayangi oleh imbas
krisis dengan capaian pertumbuhan hanya sebesar 0,85 %, jauh lebih rendah
apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang juga dihantam badai
krisis seperti Thailand dan Malaysia. Pada tahun 1999, kedua negara tetangga
tersebut sudah dapat menjalankan roda perekonomian, dengan angka pertumbuhan
masing-masing sebesar 4,23 persen dan 5,22 persen (Bank Indonesia, 2009).
Persepsi publik internasional juga turut memberikan penilaian
terhadap perekonomian Indonesia melalui berbagai hasil survei dan laporan
publikasi yang dapat dipercaya. Dalam publikasi Global Competitiveness Report 2008-2009, disebutkan bahwa daya
saing ekonomi Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 54 tahun 2007
menjadi peringkat 55 dari 131 negara di tahun 2008-2009, setelah pada tahun
2006 sempat mengalami perbaikan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2005
(World Economic Forum, 2009). Situasi yang sama juga terungkap dari hasil
survei International Institute for
Management Development (IMD), dalam publikasinya World Competitiveness Yearbook tahun 2007, melaporkan bahwa daya
saing ekonomi Indonesia tidak mengalami perbaikan. Perekonomian Indonesia
mengalami penurunan peringkat daya saing dari peringkat 52 pada tahun 2006
menjadi peringkat 54 dari 55 negara tahun 2007 (Bank Indonesia, 2009).
Pemulihan ekonomi pasca
krisis memang menghadapi berbagai permasalahan serius seiring dengan belum
optimalnya kebijakan moneter dalam mendukung peran intermediasi keuangan
perbankan untuk menggerakkan aktivitas ekonomi di sektor riil. Rendahnya
pertumbuhan kredit di satu sisi disebabkan persepsi perbankan terhadap
tingginya risiko sektor riil yang masih terimbas krisis keuangan global.
Sebaliknya di sisi lain juga disebabkan aktivitas ekonomi yang melambat serta
tingginya suku bunga (Daniey, 2003). Kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya
penguatan kebijakan moneter secara hati-hati (prudent macroeconomic policy) dan pada akhirnya mampu mendukung
peran vital sektor keuangan perbankan sebagai perantara (intermediaries).
Sebagai perantara (intermediaries),
keberadaan sebuah sistem finansial yang sehat menjadi semakin penting di
negara-negara berkembang khususnya di Indonesia. Ini mengingat, tipikal negara
berkembang yaitu adanya saving-investment
gap yang tidak bisa ditutupi oleh budget pemerintah. Dengan demikian
keterlibatan bank dalam mengumpulkan dan menyalurkan kembali dana-dana
masyarakat (fungsi intermediasi perbankan), akan sangat membantu bagi proses
pemulihan ekonomi. Sehingga tidak mengherankan jika peranan bank dalam
perekonomian negara berkembang lebih mendominasi dibandingkan dengan
negara-negara maju. Patut dicatat juga bahwa pengalaman di negara-negara
Amerika Latin dan Indonesia, membuktikan bahwa manajemen yang salah dalam
pembangunan sektor keuangan telah
menyebabkan terjadinya krisis moneter yang berimbas pada hancurnya sektor riil
(Sunarsip dan Salamun, 2003).
Momentum rezim kebijakan baru yang dapat mempengaruhi
konstalasi perekonomian di Indonesia adalah penerapan Inflation Targeting Framework (ITF), dengan menggunakan suku bunga
referensi BI (BI rate) sebagai sinyal kebijakan moneter dan beralihnya sistem
nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem yang
mengambang penuh (flexible floating
exchange rate), memberikan beberapa implikasi terhadap pengendalian moneter
di Indonesia di tengah tekanan ekonomi global yang semakin kuat.
Dalam perkembangannya, berbagai kajian empiris
seringkali memperdebatkan apakah penerapan kebijakan moneter tersebut dapat
mempengaruhi sektor riil dan melalui jalur mekanisme manakah kebijakan moneter
tersebut dapat mempengaruhi output (Bernanke dan Blinder, 1992, Taylor, 1995).
Dalam paradigma teoritis, dampak kebijakan moneter terhadap aktivitas ekonomi
secara riil masih juga mengundang kontroversi yang semakin tajam sejak tahun
1960-an. Kelompok monetaris berpendapat bahwa kebijakan moneter secara
potensial sangat kuat pengaruhnya pada permintaan agregat, sementara kelompok
Keynesian memiliki pandangan bahwa kebijakan moneter jauh lebih lemah.
Perdebatan ini sebagian berakar pada perbedaan penafsiran terhadap salah satu
episode paling dramatis dalam perekonomian Amerika, yang selalu diulas dalam
literatur-literatur ekonomi makro, yakni depresi besar pada tahun 1930-an
(Froyen, 2004, Mishkin, 2008).
Berbagai fenomena yang telah dikemukakan menarik untuk dikaji
lebih jauh karena meskipun dinamika perekonomian pasca krisis menghadapi
permasalahan serius dan ujian berat, sejarah-pun pernah mencatat bahwa Bank
dunia melalui indikator pertumbuhan ekonomi mengelompokkan Indonesia sebagai
negara yang memiliki keajaiban pertumbuhan dalam suatu publikasi berjudul “East Asian Miracle, Economic, Growth and public policy, September
1993”, Bahkan oleh IMF pada saat itu diramalkan akan menjadi negara industri
baru di Asia Tenggara (Tulus, 2009). Kondisi tersebut mendorong saya untuk
melakukan penelitian untuk menjawab bagaimana pola hubungan antara kebijakan
moneter, intermediasi keuangan perbankan, investasi swasta dan pengaruhnya
terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 1999-2009.
No comments:
Post a Comment